Secondary Traumatic Stress adalah: Pengertian dan Cara Menghadapinya

Dalam dunia psikologi, trauma bukan hanya dialami oleh mereka yang terlibat langsung dalam peristiwa traumatis. Terkadang, orang yang hanya mendengarkan cerita dari korban juga bisa mengalami dampak emosional yang serius. Kondisi ini dikenal sebagai secondary traumatic stress atau stres traumatis sekunder. Artikel ini akan membahas secara lengkap apa itu secondary traumatic stress, siapa saja yang berisiko, gejala yang ditimbulkan, dan cara menghadapinya.

Apa Itu Secondary Traumatic Stress?

Secondary traumatic stress (STS) adalah kondisi psikologis yang terjadi ketika seseorang mengalami stres atau trauma sebagai akibat dari mendengarkan atau menyaksikan pengalaman traumatis orang lain. Meskipun bukan korban langsung, individu ini bisa mengalami gejala yang sangat mirip dengan gangguan stres pasca-trauma (PTSD).

STS bisa terjadi secara tiba-tiba atau berkembang perlahan. Jika berlangsung dalam jangka panjang dan semakin berat, kondisi ini dapat berkembang menjadi vicarious trauma. Banyak orang tidak menyadari bahwa empati yang besar justru bisa menjadi pintu masuk munculnya STS, terutama jika tidak diimbangi dengan perawatan diri yang memadai.

Perbedaan STS, Compassion Fatigue, dan Burnout

STS sering kali disamakan dengan compassion fatigue atau burnout, padahal ketiganya memiliki perbedaan penting. Compassion fatigue muncul saat seseorang merasa kelelahan emosional akibat terus-menerus memberi empati dan bantuan pada orang yang mengalami trauma. Sedangkan burnout adalah kondisi kelelahan fisik dan mental yang disebabkan oleh tekanan kerja yang berkepanjangan.

STS merupakan dampak lanjutan yang bisa muncul setelah seseorang mengalami compassion fatigue dan burnout. Maka dari itu, mengenali tahap awal sebelum STS terjadi sangat penting untuk menjaga kesehatan mental.

Siapa Saja yang Rentan Mengalami STS?

Pada dasarnya, siapa pun bisa mengalami secondary traumatic stress. Namun, risiko terbesar dimiliki oleh orang-orang yang berada di sekitar korban trauma atau mereka yang bekerja dalam bidang bantuan dan pelayanan sosial. Berikut adalah beberapa kelompok yang rentan terkena STS:

  • Psikolog dan terapis
  • Perawat dan tenaga medis
  • Pekerja sosial
  • Guru dan tenaga pengajar
  • Polisi dan petugas penyelamat
  • Pengacara yang menangani kasus kekerasan atau pelecehan
  • Anggota keluarga atau teman dekat korban trauma

Tingginya intensitas empati serta keterlibatan emosional membuat mereka mudah menyerap rasa sakit dari pengalaman orang lain.

Gejala Secondary Traumatic Stress yang Perlu Diwaspadai

Gejala STS bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari emosi yang tidak stabil hingga perubahan fisik dan perilaku. Menurut lembaga kesehatan mental, berikut beberapa gejala yang umum terjadi:

1. Gejala Emosional

Perasaan sedih mendalam, kecemasan berlebihan, mudah marah, hilangnya rasa humor, atau perasaan tidak aman dan bersalah merupakan tanda emosional dari STS.

2. Gejala Fisik

Sakit kepala, gangguan pencernaan seperti maag atau asam lambung naik, kelelahan, dan gangguan tidur merupakan sinyal tubuh bahwa ada beban psikologis yang terlalu berat.

3. Gejala Kognitif

STS juga memengaruhi kemampuan berpikir. Kesulitan berkonsentrasi, mengingat hal-hal penting, atau mengambil keputusan bisa menjadi gejala gangguan kognitif akibat trauma sekunder.

4. Gejala Perilaku

Seseorang mungkin mulai menarik diri dari lingkungan sosial, mengonsumsi alkohol atau obat-obatan, mengalami gangguan pola makan, atau sulit tidur.

5. Gejala Spiritual

Kehilangan arah hidup, kehilangan harapan, hingga merasa terputus dari hubungan spiritual atau sosial juga dapat terjadi.

Cara Mengatasi dan Mencegah Secondary Traumatic Stress

Meskipun berbahaya jika dibiarkan, STS dapat dicegah dan diatasi dengan beberapa langkah berikut:

1. Kenali Batasan Diri

Belajarlah untuk mengetahui kapan harus memberi bantuan dan kapan perlu istirahat. Empati penting, tapi kesehatan mental pribadi harus tetap menjadi prioritas.

2. Lakukan Perawatan Diri (Self-Care)

Tidur cukup, makan bergizi, olahraga, serta melakukan aktivitas yang menyenangkan adalah bentuk self-care yang bisa memperkuat ketahanan emosional.

3. Konsultasi ke Profesional

Jangan ragu untuk berbicara dengan psikolog atau psikiater jika gejala STS mulai mengganggu kehidupan sehari-hari. Terapi psikologis atau konseling bisa sangat membantu.

4. Dukung dan Libatkan Komunitas

Bergabung dengan komunitas yang memiliki pengalaman serupa atau lingkungan suportif dapat memberi ruang aman untuk berbagi beban emosional.

5. Latih Mindfulness dan Meditasi

Teknik relaksasi seperti meditasi atau mindfulness terbukti efektif dalam menenangkan sistem saraf dan membantu seseorang lebih sadar terhadap kondisi emosionalnya.

Kesimpulan

Secondary traumatic stress adalah kondisi serius yang bisa dialami siapa pun, terutama mereka yang berada di sekitar korban trauma. Penting untuk mengenali gejala-gejalanya sejak dini dan melakukan langkah pencegahan agar tidak berkembang menjadi trauma yang lebih berat. Jika Anda merasa mulai mengalami gejala STS, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional demi menjaga kesehatan mental Anda dan tetap mampu membantu orang lain secara efektif.

Baca Juga: 10+ Manfaat Kacang Tanah untuk Ibu Hamil yang Perlu Diketahui